Sejujurnya Postingan ini adalah hasil karya adikku bekal pengalamannya mendaki gunung yang minta kutuangkan dalam blog ini. Mari kita nikmati petualngannya
Petualangan dimulai !!!!
Melakukan kegiatan outdoor di alam, traking mendaki gunung, menyusuri
hutan dan goa, panjat tebing, juga lingkungan hidup. Aku mulai jatuh
cinta dengan dunia tersebut saat aku jadi mahasiswi di salah satu
Universitas di Sumatera Barat dan memasuki salah satu organisasi
kepencinta alaman. Dari sanalah persentuhanku mulai dekat dengan alam.
Mendaki gunung singgalang permulaannya, yang merupakan pendakian
perdanaku juga. Dari sini jugalah kecanduanku mulai terasa terhadap
gunung-gunung. Disela-sela statusku sebagai mahasiswi libur kusempatkan
untuk mencari waktu untuk bermanja dengan alam. Tapi, sayang tidak
semudah itu, disamping waktu yang tak mudah didapatkan, teman untuk
berpetualangpun lumayan susah untuk bisa ikut.
Bagiku gunung bisa jadi motivator tuna wisma namun banyak memberiku
pengalaman yang tak bisa aku ungkapkan, bahkan bisa membangkitkan
gairahku untuk terus mau menyentuh alam lebih leluasa. Keindahan yang ia
gambarkan tak bisa ku jelaskan dengan kata-kata. Hanya bisa kugambarkan
dengan imajinasi ku sendiri. Bahkan gunung seolah berkata, yang kuat
mengayomi yang lemah dan kekompakan suatu tim pendakian berada dititik
terlemah. Dan jalanan setapak terjal juga kehijauan hutan menggambarkan
tak ada yang mudah didapatkan di dunia ini kecuali dengan perjuangan.
Kumulai perjalanan dari pasar koto baru, tempat yang dijadikan para
pendaki gunung sebagai tempat peristirahatan sebelum dan sesudah
pendakian. Tepatnya di malam hari setelah melakukan perjalanan
menggunakan angkutan umum dari depan kampus. Ya... ini lah mulanya
perjalanan, akan tetapi aku beserta tim yang berjumlah 7 orang (bang Cimot, bang Edi, bang Angga, Tirza, uni Dian, Iwin, dan aku sendiri (Anggi Lubis)) memutuskan untuk menginap satu malam dirumah salah satu senior
ku dari organisasi kepencinta alaman lebih tepatnya rumah bang Akhang
sampai tiba matahari pagi mulai bersinar. Inilah awal mula perjalanan
yang sebenarnya, kaki yang mulai melangkah lebih jauh lagi, bahkan mulai
terasa jalan pendakian, semangat masih mengguncang untuk melanjutkan
perjalanan ini, mungkin saja ini juga efek dari pendakian perdana.
Perjalanan yang lumayan jauh bagiku sebagai pendakian perdana. Padahal,
perjalanan ini belum seberapa jauh, bahkan baru saja sampai di tower
yang menandakan ini adalah posko pertama mungkin. Dalam keletihan yang
tak putus-putus aku mengusap hidungku yang aku mengira bahwa aku
mimisan, tapi sebenarnya tidak mungkin ini pengaruh dari suhu yang
membuat hidungku seperti dilanda flu, merasa ada cairan yang mengalir
didalamnya. Hawa dingin membuat bulu kudukku mulai berkembangan
perlahan, akan tetapi keringat juga bercucuran menetes perlahan membuat
baju yang kukenakan mulai terasa lembab, ibaratnya keringatan dalam
kedinginan. Begini lah suasana dan udara bahkan cuaca dialam bebas,
tidak dapat ditebak namun bisa dirasakan. Perjalanan ini tetap berlanjut
meskipun rinai hujan membasahi dedaunan yang hijau ini, menambah
keindahan dibawah puncak gunung ini mulai terlihat dan terasa.
Aku sudah mabuk kepayang dan tak sabar ingin menyaksikan telaga dewi
yang ada dipuncak singgalang. Sudah lama aku mendengar kesejukan dan
keindahan, bahkan keelokan telaga dewi ini dari para seniorku yang lebih
dulu menginjakkan kakinya di puncak singgalang. Mendaki singgalang aku
sempat heran mengenali medan yang ada disana, rasanya aneh, dari kaki
gunung hingga kepuncak gunung aku mendapati deretan tiang listrik yang
sengaja didirikan disepanjang jalan menuju puncak, bahkan yang paling
mengherankan bagiku adalah adanya tower yang berdiri di top singgalang.
Penglaman pertama naik gunung tidak bisa aku jelaskan dengan kata-kata
lagi tatkala aku telah sampai dipuncak dan melihat keindahan serta
merasakan kesejukannya secara nyata dan benar-benar nyata. Aku teringat
cerita salah satu dari seniorku tentang pendaki yang hilang. Cerita
pendaki gunung yang hilang bukan cerita baru bagiku, sebelumnya aku juga
sudah sering mendengarnya di berbagai media, hal itu aku tak mau ambil
pusing hanya saja aku berfikir positif agar aku tidak takabur dengan
alam, dan agar aku bisa mematuhi adat yang telah ada.
Keindahan alam terasa begitu menenangkan hati dan jiwa walaupun semilir
angin membuat tubuhku hampir membeku dan tak terasa lagi kakiku ketika
dipijakkan. Ku hangatkan diriku didekat api unggun yang telah meyala
didekat tenda kami yang berdiri dua tenda yang berhadapan. Santap kopi
di dini hari itu terasa nikmat, dan sembari menikmati kopi aku
menghitung ada belasan rombongan yang juga melakukan pendakian. Sialnya
saat aku memulai perbincangan dengan beberapa anggota tim kami tiba-tiba
saja hujan turun bahkan begitu lebat, malam yang dingin hanya
berselimutkan kain sarung bukan sleeping bag yang biasa dipakai untuk
tidur di puncak gunung, maklum saja pendakian perdana belum memiliki
alat-alat gungung yang lengkap dan bukan pendaki profesional.
Pagi ini secangkir teh menemani ku lalui kedinginan yang menyegat tubuhku, yang memaksaku harus mengenakan jaket gunung yang tebal, aku adalah salah satu orang yang tidak begitu suka mengenakan jaket. Tapi kali ini apa boleh buat memang benar-benar harus aku kenakan dikarenakan keadaan alam. “ buek an teh bia ndak dingin bana” bg cimot menyuruhku dalam bahasa minangnya, yang saat itu aku belum benar-benar paham dalam bahasa minang dikarenakan aku bukan berasal dari ranah Minang, melainkan MANDAILING . Sedikit mengurangi rasa dingin memang da kunikmati suasana sejuk ini. Dua hari camp dipuncak gunung sangat menenangkan jiwa ku bahkan aku tak pernah merasakan sebelumnya seperti saat itu, tenang, damai, bahkan jauh dari kebisingan yang tiap hari aku dapatkan di kota tempatku melanjutkan studi, walau sebenarnya aku harus menahan kedinginan yang begitu menyengat. Inilah awal mula kecanduanku terhadap alam.
Padang, 09 Oktober 2014
Anggi Mutiara Lubis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar