Laman

Entri Populer

Kamis, 09 Oktober 2014

PERSENTUHAN KU DENGAN ALAM

Sejujurnya Postingan ini adalah hasil karya adikku bekal pengalamannya mendaki gunung yang minta kutuangkan dalam blog ini. Mari kita nikmati petualngannya

Petualangan dimulai !!!! 

Melakukan kegiatan outdoor di alam, traking mendaki gunung, menyusuri hutan dan goa, panjat tebing, juga lingkungan hidup. Aku mulai jatuh cinta dengan dunia tersebut saat aku jadi mahasiswi di salah satu Universitas di Sumatera Barat dan memasuki salah satu organisasi kepencinta alaman. Dari sanalah persentuhanku mulai dekat dengan alam. Mendaki gunung singgalang permulaannya, yang merupakan pendakian perdanaku juga. Dari sini jugalah kecanduanku mulai terasa terhadap gunung-gunung. Disela-sela statusku sebagai mahasiswi libur kusempatkan untuk mencari waktu untuk bermanja dengan alam. Tapi, sayang tidak semudah itu, disamping waktu yang tak mudah didapatkan, teman untuk berpetualangpun lumayan susah untuk bisa ikut. 

Bagiku gunung bisa jadi motivator tuna wisma namun banyak memberiku pengalaman yang tak bisa aku ungkapkan, bahkan bisa membangkitkan gairahku untuk terus mau menyentuh alam lebih leluasa. Keindahan yang ia gambarkan tak bisa ku jelaskan dengan kata-kata. Hanya bisa kugambarkan dengan imajinasi ku sendiri. Bahkan gunung seolah berkata, yang kuat mengayomi yang lemah dan kekompakan suatu tim pendakian berada dititik terlemah. Dan jalanan setapak terjal juga kehijauan hutan menggambarkan tak ada yang mudah didapatkan di dunia ini kecuali dengan perjuangan. 

Kumulai perjalanan dari pasar koto baru, tempat yang dijadikan para pendaki gunung sebagai tempat peristirahatan sebelum dan sesudah pendakian. Tepatnya di malam hari setelah melakukan perjalanan menggunakan angkutan umum dari depan kampus. Ya... ini lah mulanya perjalanan, akan tetapi aku beserta tim yang berjumlah 7 orang (bang Cimot, bang Edi, bang Angga, Tirza, uni Dian, Iwin, dan aku sendiri (Anggi Lubis)) memutuskan untuk menginap satu malam dirumah salah satu senior ku dari organisasi kepencinta alaman lebih tepatnya rumah bang Akhang sampai tiba matahari pagi mulai bersinar. Inilah awal mula perjalanan yang sebenarnya, kaki yang mulai melangkah lebih jauh lagi, bahkan mulai terasa jalan pendakian, semangat masih mengguncang untuk melanjutkan perjalanan ini, mungkin saja ini juga efek dari pendakian perdana. 

Perjalanan yang lumayan jauh bagiku sebagai pendakian perdana. Padahal, perjalanan ini belum seberapa jauh, bahkan baru saja sampai di tower yang menandakan ini adalah posko pertama mungkin. Dalam keletihan yang tak putus-putus aku mengusap hidungku yang aku mengira bahwa aku mimisan, tapi sebenarnya tidak mungkin ini pengaruh dari suhu yang membuat hidungku seperti dilanda flu, merasa ada cairan yang mengalir didalamnya. Hawa dingin membuat bulu kudukku mulai berkembangan perlahan, akan tetapi keringat juga bercucuran menetes perlahan membuat baju yang kukenakan mulai terasa lembab, ibaratnya keringatan dalam kedinginan. Begini lah suasana dan udara bahkan cuaca dialam bebas, tidak dapat ditebak namun bisa dirasakan. Perjalanan ini tetap berlanjut meskipun rinai hujan membasahi dedaunan yang hijau ini, menambah keindahan dibawah puncak gunung ini mulai terlihat dan terasa. 


Aku sudah mabuk kepayang dan tak sabar ingin menyaksikan telaga dewi yang ada dipuncak singgalang. Sudah lama aku mendengar kesejukan dan keindahan, bahkan keelokan telaga dewi ini dari para seniorku yang lebih dulu menginjakkan kakinya di puncak singgalang. Mendaki singgalang aku sempat heran mengenali medan yang ada disana, rasanya aneh, dari kaki gunung hingga kepuncak gunung aku mendapati deretan tiang listrik yang sengaja didirikan disepanjang jalan menuju puncak, bahkan yang paling mengherankan bagiku adalah adanya tower yang berdiri di top singgalang. 

Penglaman pertama naik gunung tidak bisa aku jelaskan dengan kata-kata lagi tatkala aku telah sampai dipuncak dan melihat keindahan serta merasakan kesejukannya secara nyata dan benar-benar nyata. Aku teringat cerita salah satu dari seniorku tentang pendaki yang hilang. Cerita pendaki gunung yang hilang bukan cerita baru bagiku, sebelumnya aku juga sudah sering mendengarnya di berbagai media, hal itu aku tak mau ambil pusing hanya saja aku berfikir positif agar aku tidak takabur dengan alam, dan agar aku bisa mematuhi adat yang telah ada. 

Keindahan alam terasa begitu menenangkan hati dan jiwa walaupun semilir angin membuat tubuhku hampir membeku dan tak terasa lagi kakiku ketika dipijakkan. Ku hangatkan diriku didekat api unggun yang telah meyala didekat tenda kami yang berdiri dua tenda yang berhadapan. Santap kopi di dini hari itu terasa nikmat, dan sembari menikmati kopi aku menghitung ada belasan rombongan yang juga melakukan pendakian. Sialnya saat aku memulai perbincangan dengan beberapa anggota tim kami tiba-tiba saja hujan turun bahkan begitu lebat, malam yang dingin hanya berselimutkan kain sarung bukan sleeping bag yang biasa dipakai untuk tidur di puncak gunung, maklum saja pendakian perdana belum memiliki alat-alat gungung yang lengkap dan bukan pendaki profesional. 




Pagi ini secangkir teh menemani ku lalui kedinginan yang menyegat tubuhku, yang memaksaku harus mengenakan jaket gunung yang tebal, aku adalah salah satu orang yang tidak begitu suka mengenakan jaket. Tapi kali ini apa boleh buat memang benar-benar harus aku kenakan dikarenakan keadaan alam. “ buek an teh bia ndak dingin bana” bg cimot menyuruhku dalam bahasa minangnya, yang saat itu aku belum benar-benar paham dalam bahasa minang dikarenakan aku bukan berasal dari ranah Minang, melainkan MANDAILING . Sedikit mengurangi rasa dingin memang da kunikmati suasana sejuk ini. Dua hari camp dipuncak gunung sangat menenangkan jiwa ku bahkan aku tak pernah merasakan sebelumnya seperti saat itu, tenang, damai, bahkan jauh dari kebisingan yang tiap hari aku dapatkan di kota tempatku melanjutkan studi, walau sebenarnya aku harus menahan kedinginan yang begitu menyengat. Inilah awal mula kecanduanku terhadap alam. 

Padang, 09 Oktober 2014 
Anggi Mutiara Lubis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar