Lagi, Karya tulis adik tercinta Anggi Mutiara Lubis
Pendaki mana yang tak kenal dengan telaga Dewi yang
menjadi syurganya para pendaki saat berada di puncak singgalang
ketinggian lebih dari 2500 MDPL. Pemandangannya terlihat begitu
romantis. Dingin masih terasa sepanjang hari walaupun matahari telah
terik ketika aku duduk di pinggiran telaga dewi. Inilah yang membuat aku
rindu akan ketinggian singgalang, rindu suasana dingin duduk di
pinggiran telaga dewi.
Sudah pasti disetiap puncak gunung pasti punya momen tertentu yang
sulit dilupakan. Begitu juga diketinggian puncak singgalang ini.
Romantisme yang membuat diriku berimajinasi lebih dalam. Ahhh hampir
saja aku tak mau berpijak dari pinggiran telaga ini yang menenagkan jiwa
dan raga ku, yang hilangkan penat dan letih ku.
Akan tetapi ada hal yang mengerikan bahkan sangat miris ketika
kupandangi sekelilingan telaga ini, syurganya para pendaki gunung harus
lebih dijaga dan dilindungi lagi. Aku tidak bisa banyak bicara hanya
saja aku berkata dalam hati “ coba saja ada petugas kebersihan disini
sudah pasti dia merengek akan pekerjaannya sebagai petugas kebersihan”. Tapi mustahil kalau mengandalkan petugas kebersihan bertugas disini.
Hanya kita yang mempunyai kesadaran yang bisa beralih profesi sesaat
disini jadi petugas kebersihan.
Telaga dewi masih tenang tapi terlihat ada segumpalan kabut yang akan
menyelimutinya. Ahhh padahal aku belum puas menikmati pemandangan dan
kesejukan ini. Angin lembut terasa menaikkan bulu roma, segar, dan
dingin sekali. Kabut tebal yang sudah mulai menutupi telaga yang tenang,
aku masih duduk dipinggiran telaga ini memikirkan bagaimana sudut
pandang manusia tentang alam ini. Sampai akhirnya aku tak tahan lagi
akan kedinginan ini, kuambil sarung dan kuselimuti tubuhku yang terasa
sudah mau membeku ini, tapi aku masih duduk dipinggiran telaga yang
tenda juga berdiri tepat dekat dengan telaga.
Matahari mulai tinggi dan perlahan kabut itu mulai menipis, perut yang
tadi diisi dengan sarapan sudah mulai terasa lapar. Riuh suara pendaki
mulai terdengar kembali banyak pendaki yang baru berdatangan, sapa
menyapa kalaupun sebenarnya tidak saling mengenal karena di alam semua
menjadi saudara.
Sore datang dengan kabut tipis, dipinggiran telaga aku merasakan akan
ada kerinduan terhadap telaga saat aku pulang nanti. Ingin rasanya aku
kemas dan aku bawa pulang dan memikirkan bagaimana caranya agar semua
ini bisa kubawa pulang dan ada dalam kehidupan sehari-harinya yang aku
jalani.
Dan imajinasi ku semakin tinggi bahkan semakin gila yang saat itu aku
lupa hakekat sebagai manusia yang harusnya bersyukur bukan serakah
seperti ini. Angin tipis datang membawa sejuta ketakutan, ketakutan akan
syurga para pendaki gunung ini, apakah dia akan tetap sesejuk dan
seindah ini untuk 10 tahun kedepan ?.
Malam sudah cukup dingin, gelap sudah pekat tapi masih terlihat
cahaya - cahaya api unggun dari berbagai kelompok pendaki diseberang sana.
Aku memilih menghabiskan waktu diluar tenda menghangatkan tubuh didekat
api unggun dengan secanglir kopi yang diminum bersama sambil memandangi
langit yang dihiasi ribuan bintang. Tawa pecah hangatkan suasana,
cahaya api unggun yang kami buat menerpa wajah kusam. Panas dari api
cukup menghangatkan badan disuasana malam yang dingin ini. Kunikmati
malam ini dengan telaga dewi yang beku dan tenang.
Pagi ini telaga dewi menjadi saksi hari ke dua ku menikmati dinginnya
pagi disini. Cuaca begitu cerah, langit juga begitu biru menambah
kenangan dihari terakhirku pada pendakian kali ini disini. Bendera merah
putih yang berada ditengah telaga ini menyempurnakan keelokan suasana
disini. Sampai aku pulang aku masih memaknai arti dari kehidupan yang ku
dapatkan dipuncak gunung singgalang dan telaga dewi yang jadi cinta
pertamaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar