Laman

Entri Populer

Minggu, 12 Oktober 2014

CINTA PERTAMAKU (TELAGA DEWI)

Lagi, Karya tulis adik tercinta Anggi Mutiara Lubis

Pendaki mana yang tak kenal dengan telaga Dewi yang menjadi syurganya para pendaki saat berada di puncak singgalang ketinggian lebih dari 2500 MDPL. Pemandangannya terlihat begitu romantis. Dingin masih terasa sepanjang hari walaupun matahari telah terik ketika aku duduk di pinggiran telaga dewi. Inilah yang membuat aku rindu akan ketinggian singgalang, rindu suasana dingin duduk di pinggiran telaga dewi. 

Sudah pasti disetiap puncak gunung pasti punya momen tertentu yang sulit dilupakan. Begitu juga diketinggian puncak singgalang ini. Romantisme yang membuat diriku berimajinasi lebih dalam. Ahhh hampir saja aku tak mau berpijak dari pinggiran telaga ini yang menenagkan jiwa dan raga ku, yang hilangkan penat dan letih ku. 

Akan tetapi ada hal yang mengerikan bahkan sangat miris ketika kupandangi sekelilingan telaga ini, syurganya para pendaki gunung harus lebih dijaga dan dilindungi lagi. Aku tidak bisa banyak bicara hanya saja aku berkata dalam hati “ coba saja ada petugas kebersihan disini sudah pasti dia merengek akan pekerjaannya sebagai petugas kebersihan”. Tapi mustahil kalau mengandalkan petugas kebersihan bertugas disini. Hanya kita yang mempunyai kesadaran yang bisa beralih profesi sesaat disini jadi petugas kebersihan. Telaga dewi masih tenang tapi terlihat ada segumpalan kabut yang akan menyelimutinya. Ahhh padahal aku belum puas menikmati pemandangan dan kesejukan ini. Angin lembut terasa menaikkan bulu roma, segar, dan dingin sekali. Kabut tebal yang sudah mulai menutupi telaga yang tenang, aku masih duduk dipinggiran telaga ini memikirkan bagaimana sudut pandang manusia tentang alam ini. Sampai akhirnya aku tak tahan lagi akan kedinginan ini, kuambil sarung dan kuselimuti tubuhku yang terasa sudah mau membeku ini, tapi aku masih duduk dipinggiran telaga yang tenda juga berdiri tepat dekat dengan telaga. 


Matahari mulai tinggi dan perlahan kabut itu mulai menipis, perut yang tadi diisi dengan sarapan sudah mulai terasa lapar. Riuh suara pendaki mulai terdengar kembali banyak pendaki yang baru berdatangan, sapa menyapa kalaupun sebenarnya tidak saling mengenal karena di alam semua menjadi saudara. Sore datang dengan kabut tipis, dipinggiran telaga aku merasakan akan ada kerinduan terhadap telaga saat aku pulang nanti. Ingin rasanya aku kemas dan aku bawa pulang dan memikirkan bagaimana caranya agar semua ini bisa kubawa pulang dan ada dalam kehidupan sehari-harinya yang aku jalani. Dan imajinasi ku semakin tinggi bahkan semakin gila yang saat itu aku lupa hakekat sebagai manusia yang harusnya bersyukur bukan serakah seperti ini. Angin tipis datang membawa sejuta ketakutan, ketakutan akan syurga para pendaki gunung ini, apakah dia akan tetap sesejuk dan seindah ini untuk 10 tahun kedepan ?. 

 Malam sudah cukup dingin, gelap sudah pekat tapi masih terlihat cahaya - cahaya api unggun dari berbagai kelompok pendaki diseberang sana. Aku memilih menghabiskan waktu diluar tenda menghangatkan tubuh didekat api unggun dengan secanglir kopi yang diminum bersama sambil memandangi langit yang dihiasi ribuan bintang. Tawa pecah hangatkan suasana, cahaya api unggun yang kami buat menerpa wajah kusam. Panas dari api cukup menghangatkan badan disuasana malam yang dingin ini. Kunikmati malam ini dengan telaga dewi yang beku dan tenang. Pagi ini telaga dewi menjadi saksi hari ke dua ku menikmati dinginnya pagi disini. Cuaca begitu cerah, langit juga begitu biru menambah kenangan dihari terakhirku pada pendakian kali ini disini. Bendera merah putih yang berada ditengah telaga ini menyempurnakan keelokan suasana disini. Sampai aku pulang aku masih memaknai arti dari kehidupan yang ku dapatkan dipuncak gunung singgalang dan telaga dewi yang jadi cinta pertamaku.

Read More..

Kamis, 09 Oktober 2014

MEMADU KEMESRAAN DENGAN ALAM, PUNCAK MERPATI, DAN EDELWEISS

Sejatinya ini juga masih Karya Tulis adikku bekal pengalamannya mendaki gunung.
Salam Lestari

Ini merupakan pendakian kedua ku, yaitu pendakian ke Merapi !! 

Aku sama sekali tidak tahu, apakah karena aku seorang pendaki gunung, maka aku jatuh cinta dengan gunung atau karena gunung yang membuatku jatuh cinta jadi seorang pendaki gunung ?. aku ragu siapa diantara kalian yang pertama kali membuat aku jatuh cinta. 



Aku pernah mendengar cerita tentang bunga abadi atau bunga Edelweiss, yang kata orang-orang bunga ini sangat indah. Dulu aku pernah mengambil paksa bunga Edelweiss dari dompet salah satu teman seangkatan ku di organisasi kepencinta alaman namanya Irfan Saputra yang kerap kali ku sapa mesra dengan “KW/KYT”. Saat ku lihat, aku sedikit terkejut. Edelweiss tidak wangi seperti mawar yang selalu aku bayangkan bahkan tidak begitu istimewa alwalnya yang kulihat. Ia berwarna putih kekuningan, kering, juga kecil, tapi ia begitu mungil. Tapi aku tidak mau ambil pusing, aku tetap mengambilnya dan kusimpan ku pindahkan ke dompetku yang mulai kusam ini. Sekarang masih ku simpan Edelweiss itu di dalam dempet ku, bahkan aku hampir lupa tentang Edelweiss. Sampai akhirnya KYT mengajakku mendaki salah satu gunung yang ada puncak merpatinya bahkan ada juga Edelweissnya. Hal ini mengingatkan ku kembali pada saat aku memaksa mengambil Edelweiss dari dompetnya, yang membangkitkan rasa penasaran ku akan Edelweiss dan gairahku untuk melakukan pendakian bersamanya. 

Entah aku jatuh cinta pada Edelweiss juga puncak merpati. Aku juga tidak tau, hanya saja TIDAK !! jangan bawakan/berikan aku Edelweiss lagi kawan, tapi bawa saja aku bertemu dengan Edelweiss, aku ingin melihat dia saat dia bernafas bebas, sekalian belajar tentang hidupnya yang kata orang penuh dengan keabadian. Mencari tau tentang kesungguhannya dan kekukuhannya bagaimana ia bisa bertahan hidup diketinggian lebih dari 2000 MDPL dan diterpa angin badai. 

Dan akhirnya pun aku dibawa menyusuri jalanan setapak menuju puncak merpati dan taman keabadian Edelweiss. Perjalanan yang melelahkan dibanding dengan pendakian sebelumnya yang bahkan hanya beranggotakan tiga orang yaitu, Irfan, Rizka, dan juga aku (Anggi). Tapi kelelahan itu kusembunyikan demi ingin menikmati keindahan dipuncak sana seperti biasa saat aku melakukan pendakian, dilanda Flu akibat suhu udara. Bahkan air mata terjatuh tanpa aku sadari menambah semangatku untuk melanjutkan perjalanan ini. Tanpa kesadaran aku pun sampai dipuncak merpati. Subhanallah !! maha besar kuasa Tuhan, tanpa dapat aku jelaskan hanya bisa aku rasakan keindahan sunrise yang membawaku berimajinasi tentang keindahan ciptaan Tuhan ini. 

Di sela-sela keindahan ini sejenak ku terdiam, kuresapi sedalam mungkin keindahan ini, terpaan angin yang sesekali membawaku berkhayal lebih jauh lagi ingin lebih lama berada disini. Tapi keelokan ini belum berakhir sampai di sini saat mereka yang sebelumnya sudah pernah menginjakkan kaki disini membawaku ketaman yang biasa di kenal dengan nama taman keabadian yaitu taman Edelweiss. Entah Edelweiss yang membawa ku bertemu dengan puncak merpati, atau puncak merpati yang membawaku bertemu dengan bunga keabadian ini (Edelweiss). Sejak aku bertemu dengan puncak merpati dan Edelweiss aku sadar kecintaan ku terhadap alam takkan pernah mati dan pudar. Terima kasih telah membawaku ke taman Edelweiss dan puncak merpati yang juga memecahkan rasa penasaranku akan puncak merpati dan taman Edelweiss. Bahkan memberikanku banyak pengalaman semenjak kaki mulai melangkah menuju puncak.

Padang, 09 Otober 2014
Anggi Mutiara Lubis
Read More..

PERSENTUHAN KU DENGAN ALAM

Sejujurnya Postingan ini adalah hasil karya adikku bekal pengalamannya mendaki gunung yang minta kutuangkan dalam blog ini. Mari kita nikmati petualngannya

Petualangan dimulai !!!! 

Melakukan kegiatan outdoor di alam, traking mendaki gunung, menyusuri hutan dan goa, panjat tebing, juga lingkungan hidup. Aku mulai jatuh cinta dengan dunia tersebut saat aku jadi mahasiswi di salah satu Universitas di Sumatera Barat dan memasuki salah satu organisasi kepencinta alaman. Dari sanalah persentuhanku mulai dekat dengan alam. Mendaki gunung singgalang permulaannya, yang merupakan pendakian perdanaku juga. Dari sini jugalah kecanduanku mulai terasa terhadap gunung-gunung. Disela-sela statusku sebagai mahasiswi libur kusempatkan untuk mencari waktu untuk bermanja dengan alam. Tapi, sayang tidak semudah itu, disamping waktu yang tak mudah didapatkan, teman untuk berpetualangpun lumayan susah untuk bisa ikut. 

Bagiku gunung bisa jadi motivator tuna wisma namun banyak memberiku pengalaman yang tak bisa aku ungkapkan, bahkan bisa membangkitkan gairahku untuk terus mau menyentuh alam lebih leluasa. Keindahan yang ia gambarkan tak bisa ku jelaskan dengan kata-kata. Hanya bisa kugambarkan dengan imajinasi ku sendiri. Bahkan gunung seolah berkata, yang kuat mengayomi yang lemah dan kekompakan suatu tim pendakian berada dititik terlemah. Dan jalanan setapak terjal juga kehijauan hutan menggambarkan tak ada yang mudah didapatkan di dunia ini kecuali dengan perjuangan. 

Kumulai perjalanan dari pasar koto baru, tempat yang dijadikan para pendaki gunung sebagai tempat peristirahatan sebelum dan sesudah pendakian. Tepatnya di malam hari setelah melakukan perjalanan menggunakan angkutan umum dari depan kampus. Ya... ini lah mulanya perjalanan, akan tetapi aku beserta tim yang berjumlah 7 orang (bang Cimot, bang Edi, bang Angga, Tirza, uni Dian, Iwin, dan aku sendiri (Anggi Lubis)) memutuskan untuk menginap satu malam dirumah salah satu senior ku dari organisasi kepencinta alaman lebih tepatnya rumah bang Akhang sampai tiba matahari pagi mulai bersinar. Inilah awal mula perjalanan yang sebenarnya, kaki yang mulai melangkah lebih jauh lagi, bahkan mulai terasa jalan pendakian, semangat masih mengguncang untuk melanjutkan perjalanan ini, mungkin saja ini juga efek dari pendakian perdana. 

Perjalanan yang lumayan jauh bagiku sebagai pendakian perdana. Padahal, perjalanan ini belum seberapa jauh, bahkan baru saja sampai di tower yang menandakan ini adalah posko pertama mungkin. Dalam keletihan yang tak putus-putus aku mengusap hidungku yang aku mengira bahwa aku mimisan, tapi sebenarnya tidak mungkin ini pengaruh dari suhu yang membuat hidungku seperti dilanda flu, merasa ada cairan yang mengalir didalamnya. Hawa dingin membuat bulu kudukku mulai berkembangan perlahan, akan tetapi keringat juga bercucuran menetes perlahan membuat baju yang kukenakan mulai terasa lembab, ibaratnya keringatan dalam kedinginan. Begini lah suasana dan udara bahkan cuaca dialam bebas, tidak dapat ditebak namun bisa dirasakan. Perjalanan ini tetap berlanjut meskipun rinai hujan membasahi dedaunan yang hijau ini, menambah keindahan dibawah puncak gunung ini mulai terlihat dan terasa. 


Aku sudah mabuk kepayang dan tak sabar ingin menyaksikan telaga dewi yang ada dipuncak singgalang. Sudah lama aku mendengar kesejukan dan keindahan, bahkan keelokan telaga dewi ini dari para seniorku yang lebih dulu menginjakkan kakinya di puncak singgalang. Mendaki singgalang aku sempat heran mengenali medan yang ada disana, rasanya aneh, dari kaki gunung hingga kepuncak gunung aku mendapati deretan tiang listrik yang sengaja didirikan disepanjang jalan menuju puncak, bahkan yang paling mengherankan bagiku adalah adanya tower yang berdiri di top singgalang. 

Penglaman pertama naik gunung tidak bisa aku jelaskan dengan kata-kata lagi tatkala aku telah sampai dipuncak dan melihat keindahan serta merasakan kesejukannya secara nyata dan benar-benar nyata. Aku teringat cerita salah satu dari seniorku tentang pendaki yang hilang. Cerita pendaki gunung yang hilang bukan cerita baru bagiku, sebelumnya aku juga sudah sering mendengarnya di berbagai media, hal itu aku tak mau ambil pusing hanya saja aku berfikir positif agar aku tidak takabur dengan alam, dan agar aku bisa mematuhi adat yang telah ada. 

Keindahan alam terasa begitu menenangkan hati dan jiwa walaupun semilir angin membuat tubuhku hampir membeku dan tak terasa lagi kakiku ketika dipijakkan. Ku hangatkan diriku didekat api unggun yang telah meyala didekat tenda kami yang berdiri dua tenda yang berhadapan. Santap kopi di dini hari itu terasa nikmat, dan sembari menikmati kopi aku menghitung ada belasan rombongan yang juga melakukan pendakian. Sialnya saat aku memulai perbincangan dengan beberapa anggota tim kami tiba-tiba saja hujan turun bahkan begitu lebat, malam yang dingin hanya berselimutkan kain sarung bukan sleeping bag yang biasa dipakai untuk tidur di puncak gunung, maklum saja pendakian perdana belum memiliki alat-alat gungung yang lengkap dan bukan pendaki profesional. 




Pagi ini secangkir teh menemani ku lalui kedinginan yang menyegat tubuhku, yang memaksaku harus mengenakan jaket gunung yang tebal, aku adalah salah satu orang yang tidak begitu suka mengenakan jaket. Tapi kali ini apa boleh buat memang benar-benar harus aku kenakan dikarenakan keadaan alam. “ buek an teh bia ndak dingin bana” bg cimot menyuruhku dalam bahasa minangnya, yang saat itu aku belum benar-benar paham dalam bahasa minang dikarenakan aku bukan berasal dari ranah Minang, melainkan MANDAILING . Sedikit mengurangi rasa dingin memang da kunikmati suasana sejuk ini. Dua hari camp dipuncak gunung sangat menenangkan jiwa ku bahkan aku tak pernah merasakan sebelumnya seperti saat itu, tenang, damai, bahkan jauh dari kebisingan yang tiap hari aku dapatkan di kota tempatku melanjutkan studi, walau sebenarnya aku harus menahan kedinginan yang begitu menyengat. Inilah awal mula kecanduanku terhadap alam. 

Padang, 09 Oktober 2014 
Anggi Mutiara Lubis
Read More..